JAYAPURA, nemangkawipos.com – Dewan Gereja-gereja Dunia (DGD) atau World Council of Churches (WCC) menggelar pembahasan mengenai situasi hak asasi manusia (HAM) yang mengerikan di Tanah Papua. Dalam forum ini, terungkap sejumlah pelanggaran serius yang sedang berlangsung, termasuk pembunuhan di luar hukum, pengungsian internal akibat konflik bersenjata, pembatasan terhadap kebebasan sipil, serta meningkatnya kasus perampasan tanah oleh pihak-pihak tertentu.
Forum ini menjadi perhatian penting bagi Dewan Gereja Dunia dan sejumlah organisasi mitra, yang mengadakan acara untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke-57 dengan tema “Hak Asasi Manusia di Papua Barat.” Acara tersebut berlangsung di Jenewa, Swiss, pada Selasa, 1 Oktober 2024.
Peter Prove, Direktur Komisi Gereja-gereja untuk Urusan Internasional DGD, menjadi moderator dalam diskusi tersebut.
“Acara kami berfokus pada situasi hak asasi manusia di Papua Barat, yang menurut saya mungkin memenuhi syarat sebagai krisis hak asasi manusia dan kemanusiaan terburuk dan terlama yang belum pernah didengar oleh banyak orang dan kami belum pernah mendengarnya karena alasan yang sangat spesifik,” kata Peter Prove menukil laman https://www.oikoumene.org.
“Ini bukan kecelakaan; ini adalah konsekuensi yang disengaja dari kurangnya akses yang diberikan Indonesia kepada perwakilan komunitas internasional ke wilayah tersebut,” katanya.
Leonardo Ijie, pengacara hak asasi manusia dari LBH Kaki Abu Sorong di Tanah Papua, telah menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan perampasan tanah dan deforestasi yang memicu perlawanan dari masyarakat setempat.
“Masyarakat yang berjuang untuk melindungi hutan dan tanah leluhur mereka mendapat tindakan opresif dari militer,” kata Ijie sambil menambahkan bahwa “Masyarakat sipil dikriminalisasi, ditangkap, dipenjara, dan dikenakan tuduhan makar oleh aparat keamanan,” ujarnya.
Ijie melanjutkan, bukan hal yang aneh jika masyarakat sipil dipaksa untuk meninggalkan kampung mereka, karena mereka tidak ingin mengalami kekerasan negara.
“Mereka menjadi pengungsi di tanah mereka sendiri,” kata Ijie sambil menyebut “Desa-desa yang ditinggalkan kemudian terbuka untuk digeledah,” kayanya.
Ia memilih untuk menjadi pengacara setelah menyaksikan tanah dan hutan milik ibunya sendiri dirampas oleh pemerintah.
“Hati saya sakit sebagai anak yang akan mewarisi tanah, menyaksikan hilangnya hak-hak ibu saya atas tanah dan hutan leluhurnya,” katanya.
Leonardo Ijie (kedua dari kanan) bersama para panelis acara untuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke-57 yang berjudul “Hak Asasi Manusia di Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja Dunia dan organisasi mitra pada 1 Oktober 2024 di Jenewa, Swiss. – Dok WCC atau Dewan Gereja Dunia.
“Kami menganggap tanah dan hutan kami sebagai seorang ibu,” ucapnya.
Ijie telah terlibat dalam advokasi agar dunia memperhatikan apa yang terjadi di Papua saat ini. “Perampasan tanah oleh pemerintah Indonesia terjadi di mana-mana,” katanya.
“Tanah dan hutan leluhur kami sudah seperti ibu bagi saya, orang Papua. Menyelamatkan tanah Papua dan hutannya adalah cara untuk menyelamatkan dunia dari ancaman pemanasan global,” ujarnya.
Nurina Savitri, dari Amnesty International Indonesia, mencatat bahwa Indonesia belum mengesahkan RUU Masyarakat Adat, yang akan memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat dan perlindungan terhadap hak-hak mereka.
“Selain kemajuan yang terhenti, RUU yang ada saat ini masih mengandung berbagai masalah, seperti proses yang rumit untuk mendapatkan pengakuan masyarakat adat dari negara,” kata Savitri.
“Tantangan ke depan termasuk profil rasial oleh aparat keamanan yang menargetkan dan mendiskriminasi orang Papua Barat dalam protes dan kegiatan lainnya, impunitas untuk pelanggaran HAM berat, dan penerapan KUHP yang baru,” ujarnya.
Norman Voss, dari Human Rights Monitor, mengatakan bahwa proyeknya bekerja sama dengan para pengacara hak asasi manusia dan jurnalis, serta berbagai aktor hukum di Indonesia yang mendokumentasikan kasus-kasus.
“Pembunuhan di luar proses hukum adalah isu utama nomor satu,” katanya.
“Kami telah mendokumentasikan 13 kasus pembunuhan semacam itu sejak awal tahun ini, yang sering kali dilakukan sebagai bagian dari operasi militer,” ujarnya.
Sementara Simonetta Fraudatario, dari Pengadilan Rakyat Permanen, menjelaskan tugas pengadilan adalah untuk menemukan kebenaran tentang peristiwa-peristiwa kriminal di Tanah Papua dan penindasan yang terjadi di sana.
“Papua Barat merupakan contoh kasus kontemporer tentang penolakan hak menentukan nasib sendiri – sebuah prinsip yang diakui dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang melahirkan pengadilan ini pada tahun 1979.”
Prove dalam pidato penutupnya mengatakan bahwa Dewan Gereja Dunia telah melakukan pemantauan dan advokasi terkait situasi di Papua Barat selama beberapa dekade.
“Dan selama periode waktu yang panjang itu, kami telah mengamati dan terus mengamati tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan dalam banyak hal situasi yang memburuk baik dari sudut pandang hak asasi manusia maupun kemanusiaan, terutama dalam beberapa tahun terakhir dengan insiden pengungsian internal yang jauh lebih besar karena konflik dan terutama karena tindakan militer dan personel keamanan Indonesia,” katanya.
“Dalam hal ini, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk memohon kepada pemerintah Indonesia, untuk membalikkan kebijakan yang saat ini menghalangi akses kemanusiaan internasional ke wilayah tersebut untuk menanggapi krisis kemanusiaan di sana,” ujarnya.
Perwakilan dari Utusan Tetap RI di Jenewa, dalam acara tersebut, menyampaikan pernyataan singkat yang menggarisbawahi bahwa pemerintah Indonesia tetap terbuka terhadap saran-saran konstruktif untuk perbaikan lebih lanjut atas situasi hak asasi manusia di Papua.
Acara ini diselenggarakan oleh Dewan Gereja-gereja Dunia dan didukung oleh Franciscans International, Human Rights Monitor, Forum Asia untuk Hak Asasi Manusia dan Pembangunan FORUM-ASIA, Amnesty International, TAPOL Centre for Climate Crime and Climate Justice, dan Queen Mary University of London. (*)