TIMIKA, Nemangkawipos.com – Dermaga PPI Pomako di Mimika, Papua Tengah, hari ini terasa berbeda. Seperti tubuh yang kehabisan darah, suasana sepi mengisi ruang yang dulu ramai oleh kapal-kapal ikan berderet. Pemandangan itu tidak bisa dianggap biasa. Ia adalah tanda ada yang keliru dalam arah kebijakan perikanan dan praktik di lapangan.
Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan Surat Edaran Menteri tentang transhipment atau transitmen di laut, kapal-kapal tidak lagi menjadikan Pomako sebagai titik singgah utama. Kebijakan yang mungkin dimaksudkan untuk efisiensi rantai pasok itu justru menutup pintu rezeki bagi masyarakat pesisir.
Hasil tangkapan yang semestinya didaratkan, dilelang, dan diputar di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), kini hilang dari jangkauan. Nelayan lokal hanya bisa menatap laut yang luas, tanpa akses ke ikan yang seharusnya bisa mereka jual untuk menyambung hidup.
Lebih ironis lagi, beredar laporan tentang praktik “oknum gemar japre”—pihak-pihak yang tanpa malu meminta setoran kepada kapal yang ingin sandar. Padahal, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menegaskan pengelolaan sumber daya perikanan harus dilakukan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Fakta di Pomako justru memperlihatkan kebalikannya: aturan diselewengkan, kesempatan dipersempit, keuntungan hanya dinikmati segelintir pihak.
Padahal, jika dikelola benar, PPI Pomako bisa menjadi simpul ekonomi strategis. Bayangkan, setiap ton ikan yang wajib diturunkan kapal dapat dilelang di TPI. Dari sana, ikan tidak hanya memenuhi pasar Mimika, tapi juga bisa dikirim ke Puncak Jaya, Intan Jaya, hingga Paniai—daerah-daerah yang kerap menghadapi kesulitan akses pangan. Rantai pasok lokal akan hidup, harga stabil, dan masyarakat pegunungan tidak lagi terjebak dalam kelangkaan ikan segar.
Otonomi Khusus Papua yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2021 semestinya memberi ruang lebih bagi daerah untuk mengelola sumber daya alamnya. Namun kebijakan pusat yang tidak berpihak, ditambah perilaku aparat yang nakal, membuat otonomi hanya sebatas slogan. Ruang hidup masyarakat adat dan nelayan kembali dipinggirkan, bahkan di wilayah kaya hasil laut sekalipun.
Karena itu, ada dua langkah mendesak yang perlu dilakukan:
1. Kepada Menteri KKP: cabut kebijakan transhipment di laut dan lakukan evaluasi menyeluruh atas dampak sosial-ekonomi, khususnya di wilayah luar Jawa seperti Papua.
2. Kepada aparat di lapangan: hentikan praktik kotor meminta setoran ilegal. Itu bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak legitimasi negara di mata rakyat.
Pomako tidak boleh menjadi dermaga kosong yang hanya menyisakan cerita. Ia harus kembali menjadi jantung ekonomi, tempat ikan diturunkan, dilelang, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.