Oleh: Sonni Lokobal Ketua Analisis Papua Strategis (APS) Provinsi Papua Pegunungan
Hari ini, Jumat, 7 Juni 2025, sejumlah pejabat tinggi negara kembali melakukan kunjungan ke Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan. Dalam rombongan tersebut hadir Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin, serta sejumlah anggota TNI dan POLRI. Menariknya, seluruh rombongan pusat tampak mengenakan rompi anti peluru—simbol kuat bahwa Papua terus dipandang dari lensa ancaman dan pendekatan keamanan.
Sementara itu, para pejabat lokal Papua yang setiap hari hidup dan bekerja di tengah kondisi sosial yang kompleks dan penuh risiko, tidak pernah diberikan perlindungan serupa. Tidak ada rompi anti peluru untuk mereka. Bahkan dalam banyak kasus, merekalah yang paling rentan, namun paling sedikit menerima dukungan langsung dari negara.
Ironis, bukan?
Yang lebih mengusik adalah pesan simbolik di balik kunjungan ini. Mengapa negara lebih memilih mengirim Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan—dua representasi kekuasaan yang berkaitan dengan uang dan senjata—daripada mengirim Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, atau Menteri Sosial?
Bukankah yang paling mendesak saat ini adalah membangun manusia Papua yang sehat, cerdas, berdaya, dan bermartabat?
Ketika rompi anti peluru hanya dikenakan oleh pejabat dari pusat, tetapi tidak tersedia bagi pejabat lokal yang menghadapi ancaman serupa setiap hari, maka kita pantas bertanya: Apakah nilai-nilai Pancasila, khususnya “kemanusiaan yang adil dan beradab”, masih hidup dalam tubuh negara kita?
Papua bukan sekadar “daerah rawan” yang bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan dan transfer dana. Papua adalah bagian sah dari Republik Indonesia, dan masyarakatnya berhak mendapatkan pendekatan yang manusiawi, berkeadilan, dan partisipatif.
Jangan terus-menerus menyikapi Papua hanya dengan “rompi anti peluru” dan “anggaran triliunan”. Papua membutuhkan kehadiran negara yang membuka mata dan hati—bukan hanya mengirim senjata dan uang.
Kalau nyawa pejabat pusat begitu dijaga, mengapa nyawa pejabat lokal Papua seolah bisa dikompromikan? Di sinilah ketimpangan itu berdiri telanjang di hadapan kita semua.
Sudah saatnya paradigma bernegara terhadap Papua diubah—dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan kemanusiaan dan pembangunan berkelanjutan. Papua butuh negara yang memeluk, bukan mencurigai.
Semoga tulisan ini menjadi refleksi bersama bagi kita semua dalam membangun masa depan Papua yang lebih adil, damai, dan bermartabat.