Oleh: Laurens Minipko
Di Mimika baru saja dilaksanakan seleksi jabatan pratama untuk kursi kepala dinas atau OPD. Hasilnya akan diumumkan dalam waktu dekat. Momentum ini penting, sebab publik tentu menaruh perhatian besar: siapa yang akan dipercayakan memimpin dinas-dinas strategis, dan bagaimana proses penentuan jabatan itu dijalankan.
Dalam konteks itu, sering kita mendengar ungkapan bahwa jabatan adalah amanah. Namun dalam praktik birokrasi, amanah itu tidak berdiri di ruang kosong. Ia lahir dari kepercayaan, diikat oleh aturan hukum, sekaligus mengandung tanggung jawab moral yang besar (23/09/2025).
Regulasi yang Mengikat
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menegaskan bahwa pengisian jabatan harus berdasarkan merit system, yakni kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 jo. PP Nomor 17 Tahun 2020 juga memperjelas mekanisme seleksi jabatan dan daftar nominatif pegawai.
Dengan regulasi ini, Bupati maupun Wakil Bupati memang boleh mendengar masukan eksternal. Namun keputusan akhirnya tetap wajib berpijak pada aturan. Tanpa itu, jabatan bisa jatuh menjadi ruang kepentingan, bukan ruang pelayanan.
Filosofi di Balik Jabatan
Lebih jauh, jabatan punya makna filosofis. Aristoteles menekankan bahwa tujuan politik adalah kebaikan bersama. Kant mengingatkan bahwa keputusan seorang pejabat harus bisa berlaku universal. Max Weber menambahkan, birokrasi yang sehat hanya bisa berjalan jika tegak di atas hukum, bukan pada hubungan patronase.
Dengan cara pandang ini, prinsip the right man on the right place bukan sekadar slogan manajemen. Ia adalah jalan moral: menempatkan orang sesuai kemampuan agar publik mendapat pelayanan terbaik.
Administratif dan Faktual
Dalam keseharian, jabatan selalu berkaitan dengan dua hal. Pertama, administratif: aturan, prosedur, dan dokumen yang wajib ditaati. Kedua, faktual: realitas lapangan yang menuntut pejabat mampu membaca masalah, merencanakan solusi, dan melaporkan hasilnya dengan benar.
Penutup
Di Mimika, publik tentu berharap pengumuman seleksi jabatan pratama benar-benar mencerminkan prinsip regulatif dan filosofis ini. Jabatan bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi tertentu, melainkan tentang kapasitas hukum dan arah moral.
Regulasi memberi batas yang jelas, sementara filosofi memberi makna yang dalam. Jika keduanya dipadukan, jabatan tidak sebatas formalitas, tetapi sungguh menjadi amanah demi kepentingan masyarakat.