WAMENA, nemangkawipos.com — Aktivis kemanusiaan asal Papua, Yefta Lengka, melayangkan kritik tajam kepada DPR Kabupaten Jayawijaya, DPR Provinsi Papua Pegunungan, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Pegunungan yang dinilainya pasif dan tidak empatik terhadap serangkaian kekerasan bersenjata yang melanda Wamena dan sekitarnya sejak pertengahan Mei 2025.
“Saya muak dengan anggota DPR dan MRP yang hanya duduk tenang, bicara di media, tapi tidak hadir menenangkan rakyat yang sedang ketakutan di tanahnya sendiri,” tegas Yefta dalam pernyataannya di Wamena, Jumat (14/6/2025).
Sejumlah insiden kekerasan dan kontak bersenjata, seperti penyerangan Pos Militer BRA 604, serangan terhadap Polsek dan Koramil Kurima, pembunuhan pekerja di Distrik Asotipo, serta penembakan aparat di Distrik Maima, telah menyebabkan gelombang ketakutan dan pengungsian warga sipil. Banyak warga dilaporkan mengungsi ke hutan dan pegunungan, terutama karena operasi militer yang berlangsung diam-diam di malam hari.
“Masyarakat hidup dalam ketakutan, sedangkan orang-orang pendatang bisa beraktivitas seperti biasa. Ini ketidakadilan yang nyata,” lanjut Yefta.
Yefta juga menyoroti maraknya intimidasi terhadap pembela HAM melalui media sosial dan platform digital, serta minimnya informasi resmi terkait operasi keamanan, yang menurutnya dilakukan oleh pihak tak dikenal dan tanpa keterbukaan hukum.
Ia menyebutkan bahwa kondisi ini semakin memperkeruh situasi dan memperparah trauma warga sipil.
Yefta mendesak para anggota legislatif dan MRP untuk tidak hanya berlindung di balik pernyataan resmi, tetapi hadir langsung menemui rakyat, menenangkan situasi, serta membentuk tim investigasi independen untuk mengungkap berbagai insiden kekerasan.
“Apakah mereka hanya duduk di kursi empuk dan menonton film ketakutan rakyatnya sendiri? DPR dipilih oleh rakyat, bukan diangkat oleh negara. MRP ada karena tuntutan sejarah. Kenapa diam?”
Yefta menegaskan bahwa ini adalah ujian moral pertama bagi para anggota DPR dan MRP Papua Pegunungan, yang semuanya adalah Orang Asli Papua (OAP). Namun dalam krisis kemanusiaan yang menyentuh akar komunitas, mereka justru tidak menunjukkan kehadiran nyata di lapangan.
“Sejarah akan mencatat di mana kalian berada ketika rakyat Papua Pegunungan hidup dalam ketakutan dan pengungsian. Ini bukan hanya soal politik, ini soal kemanusiaan,” tandasnya.
Di akhir pernyataannya, Yefta menantang para wakil rakyat untuk tidak takut menemui Presiden, Panglima TNI, Kapolri, hingga Menteri Pertahanan, jika itu memang diperlukan untuk melindungi masyarakat dari ketakutan yang terus berulang.
“Apakah mereka melebihi Tuhan hingga tak bisa ditemui? Atas nama kemanusiaan, bukalah ruang dialog dan penyelidikan! Jangan biarkan ketakutan menjadi warisan bagi generasi Papua berikutnya,” pungkasnya.